Sampah dan Sengsara

  • 30 Mei 2019
  • 12:00 WITA
  • Administrator
  • Berita

Oleh: Nur Isna Mulyani Rasya

Pencemaran lingkungan sudah menjadi polemik berkelanjutan bagi masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tapi diseluruh dunia. Pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah adalah masalah-masalah yang memiliki pengaruh besar pada kesehatan lingkungan dan manusia, salah satu faktor yang mendominasi dari pencemaran tersebut adalah sampah. Adanya sampah merupakan buntut dari budaya konsumtif yang semakin hari semakin subur berkembang diantara masyarakat.

Sampah merupakan material sisa atau limbah yang sudah tidak digunakan dalam berakhirnya suatu proses. Sisa material tersebut bisa berupa sesuatu yang dihasilkan dari hewan, manusia, ataupun tumbuhan yang sudah tidak digunakan lagi. Biasanya sisa material tersebut akan dilepaskan ke alam dan sudah berbentuk cair, padat ataupun gas. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung. Sampah dibedakan menjadi 2 berdasarkan sifatnya yaitu organik dan non-organik. Sampah organik ialah sampah yang dapat membusuk dan terurai kembali seperti sayur-sayuran, daging-dagingan, daun kering, dan yang kini menjadi konsentrasi penyelesaian bagi para pemerhati lingkungan adalah sampah non-organik, sampah yang tidak dapat membusuk dan sukar terurai kembali. Sampah ini berupa plastik, kaleng bekas, kertas, dan karton.

Sampah plastik di dunia saat ini sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan survei pada tahun 2015 berada di angka 350 juta ton, bahkan di Indonesia saja sebagai penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia memiliki sampah plastik sebanyak 3,2 juta ton dibawah China yang memiliki sampah plastik sebanyak 8,8 juta ton. Mungkin beberapa orang menyepelekan hal ini karena dianggap bahwa sampah tersebut berada di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) jadi dianggap aman-aman saja.

Namun nyatanya tidak, berbagai kasus pencemaran disebabkan karena adanya sampah-sampah tersebut yang bertebaran dimana-mana, bahan kimia dari plastik yang sukar diurai malah menghalangi jalur air dan zat hara sehingga tak dapat terserap oleh tanaman karena 1 tas plastik saja membutuhkan 10-20 tahun untuk terurai dan pada botol plastik dapat terurai selama 450 tahun. Pencemaran udara dikarenakan bau menyengat yang berasal dari sampah-sampah tersebut, naasnya manusia memilih jalan pintas dengan membakar sampah-sampah tersebut yang bukannya menyelesaikan satu masalah yakni sampah yang bertumpuk malah membuat masalah baru dengan memperparah efek global warming dikarenakan asap pembakarannya. Kemudian pencemaran air, mungkin sudah lazim kita lihat sampah sudah “maklum” berada di selokan, got, saluran air, di sungai dan laut yang bertumpuk-tumpuk, lazim tapi mengerikan. Penumpukan tersebut memiliki dampak yang begitu besar seperti pemicu banjir akibat saluran air yang mampet karena sampah, air bersih yang semakin lama semakin berkurang karena tercemar oleh sampah bahkan dalam beberapa tahun terakhir banyak ditemukan kasus hewan-hewan langka yang mati karena menelan sampah plastik, salah satunya yaitu ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kg pada perut mayat paus terdampar di Wakatobi.

Selain itu, dampak sampah terlebih lagi pada kesehatan lingkungan sangat miris. Sampah yang bertebaran dimana-mana seperti di pinggir jalan dan di kawasan pemukiman penduduk, utamanya pada kawasan sekitar TPS. Kebersihan menjadi barang mewah, lalat yang beterbangan dari sampah kemudian hinggap di makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat. Hasil penelitian dari Penn State University mengungkapkan seekor lalat bisa menampung 351-361 bakteri dalam tubuhnya yang dimana sebagian besar bakteri tersebut berkaitan dengan penyakit infeksi saluran cerna, keracunan, dan pneumonia. Bukan tidak mungkin masyarakat yang tinggal di kawasan TPS menderita berbagai penyakit dan infeksi, selain dari lalat juga dari pencemaran-pencemaran tadi.

Lalu apa hubungan sampah dengan mahasiswa? Tentulah sangat berkaitan, dimana kita para mahasiswa sebagai agent of change, agen perubahan melakukan suatu gerakan yang sedikit banyak dapat mengurangi atau mencegah pembludakan volume sampah. Tak perlu gebrakan-gebrakan yang wah, cukup dimulai dari diri sendiri dengan membuang sampah pada tempatnya, memisahkan antara sampah organik dan non-organik cukup di kos atau di rumah saja dulu, mengurangi penggunaan produk berkemasan plastik dan beralih pada benda-benda yang aman bagi lingkungan contohnya dengan menggunakan tumbler sebagai wadah air minum, dan melakukan daur ulang, misalnya bunga dekorasi dari kantong atau botol plastik, keranjang belanja dari kemasan minuman gelas plastik, lampu hias dan berbagai karya lain yang bisa didapatkan dari hasil kreatifitas. Karya tersebut bukan hanya berguna bagi diri sendiri, tapi juga bisa menjadi lahan bisnis jika kita pandai-pandai mengerti pasar dan terus berinovasi pada karya tersebut.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Manajemen Haji dan Umrah (MHU) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) semester II.

Sumber: https://washilah.com/2019/05/sampah-dan-sengsara/