Menerapkan Prinsip Istitha'ah dan Mempermudah Prosesi Haji: Tinjauan Syariah yang Humanis

  • 26 November 2023
  • 12:29 WITA
  • Administrator
  • Berita

Dalam rangka memenuhi panggilan suci berhaji, kepatuhan pada syariat tidak hanya diukur dari semangat untuk melaksanakan ibadah haji, melainkan juga dari prinsip istitha'ah, yang berarti kemampuan jasmani dan finansial. Hal ini berakar pada firman Allah SWT:

"Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran [3]: 97)

Keputusan yang dibahas dalam Muzakarah Perhajian di Yogyakarta menegaskan pentingnya syarat kesehatan sebagai bagian dari istitha’ah sebelum melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BIPIH). Implikasi dari keputusan ini tidak sekadar berhubungan dengan kesehatan calon jamaah haji, tetapi juga menyangkut keselamatan mereka dan orang lain selama melaksanakan prosesi ibadah.

Rasulullah saw. menyebutkan, "Sesungguhnya Allah menyukai jika keringanan-Nya diterima…” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah), menegaskan bahwa agama ini menganjurkan pengambilan rukhsah atau keringanan ketika terdapat kebutuhan atau kesulitan.

Pandangan ulama terkait dengan tindakan seorang jamaah yang tidak mampu secara fisik untuk memenuhi kewajiban tertentu dalam haji disampaikan dalam berbagai kesempatan, sebagaimana Imam al-Nawawi menyatakan bahwa dalam situasi darurat, sejumlah tindakan yang biasanya wajib dapat dihapuskan atau disederhanakan.

Dalam praktek kontemporer, hal ini berarti penyesuaian prosesi haji bagi jamaah yang lansia atau memiliki risiko kesehatan tinggi. Perkembangan terkini dalam dunia kesehatan dan demografi menuntut moderasi dalam praktik ibadah haji, memastikan bahwa tradisi suci ini tetap dilakukan tanpa menyebabkan bahaya.

Untuk jamaah haji yang tidak mampu secara fisik untuk bermalam di Muzdalifah atau Mina, pilihan untuk kembali ke akomodasi mereka ibarat pemberian nikmat yang diridai, sebuah bentuk kemudahan yang dirancang dalam kerangka syariat yang tetap terhormat. Lebih jauh, penugasan melontar jamarat kepada perwakilan bisa merupakan manifestasi kasih sayang, mencerminkan ajaran Islam yang menawarkan jalan untuk mematuhi perintah-Nya sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.

Kita harus menyadari bahwa proses ini bukanlah suatu kelemahan, melainkan adaptasi cerdas terhadap kebutuhan jamaah yang tidak terlepas dari visi inklusif Islam. Oleh karena itu, implementasi prinsip ini menjadi tak terelakkan dan patut dipandang sebagai contoh bijaksana dalam menjalankan ibadah.

Kemudahan dalam berhaji membuktikan bahwa agama ini luwes dan peka terhadap perkembangan zaman, seraya tetap mematuhi prinsip-prinsip utama yang telah digariskan oleh Allah swt.dan Rasul-Nya. Dalam kemudahan tersebut, terdapat juga kebijaksanaan yang mendorong umat untuk melaksanakan ibadah dengan cara yang terbaik sesuai dengan kemampuan dan kondisi mereka.

Paccinongang, 25 Nopember 2023.


Penulis: Andi Abdul Hamzah (Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (S2), Program Magister, Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Editor: Amalia Nur Rahman